10 November 2012

Memberantas gaya hidup? Caranya harus berbeda

Korupsi bukanlah sebuah penyakit, melainkan gaya hidup.

Lazimnya penyakit, porsinya pastilah lebih sedikit bila dibandingkan dengan tubuh yang dijangkitinya. Lazimnya penyakit, pastilah diupayakan sedemikian rupa agar bisa segera disembuhkan atau tersembuhkan.

Lazimnya gaya hidup, porsinya akan selalu berusaha ditingkatkan.
Lazimnya gaya hidup, selalu diupayakan agar terjadi dan atau dijadikan.

Lalu, kalau Korupsi sudah tidak dianggap sebagai penyakit melainkan  sudah dianggap sebagai gaya hidup dengan nilai gengsi tinggi, tak mungkin bisa diberantas dengan menggunakan pendekatan seorang dokter mengobati penyakit. Atau menggunakan pendekatan seorang polisi menangkap pencuri sendal jepit di masjid. Tidak. Sama sekali tidak. Kalau hal ini dilakukan, bunuh diri namanya. Mampus sebelum bisa memberantas dengan tuntas. Itu sebabnya kenapa penggeledahan KPK ke markas Korlantas beberapa waktu lalu menjadi sangat rumit dan runcing.

Sebagai ketua institusi pemberantasan korupsi (Baca KPK), saya tidak akan belajar dan atau meniru dari institusi yang sama yang dimiliki oleh Hongkong misalnya. Karena saya harus memahami pola dan karakter para pemuja gaya hidup korupsi ini. Saya akan selalu berpedoman pada: "Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya".

Di Indonesia, suku jawa memiliki populasi terbesar. Dan suku-suku lain yang ada di Indonesia memiliki karakter yang kurang lebih sama. Berbeda secara kasat mata, tetapi secara hakikat sama. Karena masih satu bangsa; Indonesia. Maka saya akan mempelajari karakter huruf-huruf Jawa (Hanacaraka). Seperti diketahui, Huruf jawa akan mati bila dipangku. Ini sebuah pertanda bagaimana menaklukkan manusia yang menggunakan huruf-huruf tersebut.

Setelah mengetahui kalau korupsi ternyata sebuah gaya hidup yang dipuja oleh sebagian besar para birokrat, penegak hukum, hingga wakil rakyat, setelah mengetahui kalau saya harus memangku, maka saya tidak akan bertindak sebagai pemberantas. Karena korupsi bukanlah penyakit. Sekali lagi BUKAN PENYAKIT. Saya sebagai ketua KPK, akan mulai 'memangku' institusi penegak hukum terlebih dahulu. Mereka akan saya libatkan secara institusi, bukan hanya 'mempekerjakan wakil institusi bersangkutan' seperti yang terjadi selama ini. Saya akan membuat penegak hukum lain merasa nyaman dengan keberadaan KPK, entah itu kejaksaan, kehakiman maupun kepolisian. Hingga pada akhirnya, biarkan orang-orang didalam penegak hukum itu sendiri yang membongkar kasus korupsi. Karena sudah menjadi kawan dekat bahkan sahabat, maka mereka dengan sukarela menyerahkan seluruh berkas perkara kepada KPK yang saya pimpin. Dengan demikian, institusi saya akan dengan mudah memproses dan mengeksekusi. Target saya adalah: HUKUMAN MATI.

Hukuman mati harus dilakukan, sebagai shock therapy pada awal terbongkarnya gaya hidup korupsi di institusi penegak hukum. Dan harus serentak. Sehingga tidak ada celah untuk menyiasati dari siasat yang saya jalankan.

Selain menjadi shock therapy, hukuman mati yang dialami oleh para penegak hukum pemuja gaya hidup korupsi ini, akan melahirkan dendam. Maka secara otomatis, institusi penegak hukum tidak akan rela kalau institusi lain (birokrat dan wakil rakyat) masih dengan bebasnya memuja gaya hidup korupsi. Institus penegak hukum yang sudah 'dibersihkan' ini akan dengan sukarela bekerja keras menjebloskan para pemuja gaya hidup korupsi ke dalam penjara. Tugas institusi yang saya pimpin menjadi lebih ringan dan santai. Pemberantasan korupsi akan berjalan dengan kondusif dan senyap. Strategi ini saya sebut sebagai "Devide et impera positif"

Tapi sayang: ini hanya kalau saya menjadi ketua KPK.

Link: lombablogkpk.tempo


Tidak ada komentar: